Oleh : Achmad Na`im Ubaidillah*
Jauh hari sejak pemerintah merencanakan menaikkan harga BBM dan memberikan BLT kepada rakyat miskin, mahasiswa sebagai penyambung lidah rakyat setiap hari aktif turun jalan melakukan domontrasi untuk menghentikan dan menolak rencana gila pemerintah tersebut. Pemerintah beralasan naiknya harga minyak dunia mengakibatkan APBN mengalami devisit anggaran karena sebagian besar dana APBN habis digunakan untuk subsidi BBM rakyat, untuk menyelamatkan APBN dan negara ini tidak ada pilihan lain kecuali dengan menaikkan harga BBM. Padahal kita juga tahu, kalau pemerintah benar-benar serius memikirkan nasib rakyat kecil masih banyak solusi lain ketimbang memilih menaikkan BBM misalnya menaikkan pajak barang-barang mewah yang masuk ke Indonesia, memangkas beberapa pos anggaran yang dinilai kurang penting sebagai bentuk penghematan APBN.
Menurut mahasiswa rencana pemerintah menaikan harga BBM hanya akan menambah derita rakyat karena harus menanggung beban hidup yang semakin berat dengan ikut melonjaknya harga-harga kebutuhan pokok, padahal kebutuhan atas bahan pokok ini merupakan hal yang sangat esensi sebab sudah menyangkut "perut rakyat",. Begitu juga biaya transportasi rakyat pun jelas akan naik dan yang sangat mengkhawatirkan adalah banyaknya usaha kecil dan menengah (UKM) yang terpaksa harus gulung tikar akibat menurunnya daya beli masyarakat membuat hasil produksi tidak lagi mampu menutupi biaya produksi yang semakin besar. Banyaknya UKM yang gulung tikar merupakan simbul “matinya perekonomian rakyat” itu juga berarti ambruknya penyangga utama perekonomian Negara. Kalau hal ini yang terjadi, bukankah ini berarti awal kehancuran sebuah Negara?
Ketidakseriusan PemerintahUntuk menghibur dan mencari simpati hati rakyat pemerintah mengeluarkan pogram instan konpensasi atas kenaikan harga BBM berupa bantuan langsung tunai (BLT) sama seperti saat pemerintah SBY-JK menaikkan harga BBM pertama tahun 2005. BLT yang dibagikan kapada 19,7 juta kepala keluarga miskin diseluruh negeri ini sebesar 100.000/bulan selama 7 bulan, terhitung mulai juni sampai Desember 2008. Ironisnya, data yang digunakan pemerintah dalam penyaluran program BLT tahun 2008 ini tetap mengacu pada data rakyat miskin tahun 2005 yang itu saja bermasalah, bagaimana jadinya kalau data tersebut digunakan tahun 2008? Hasilnya dapat kita lihat setiap hari pemberitaan dimedia betapa ambul-radulnya penyaluran dana BLT dilapangan, mulai desak-desakan antren warga dalam pencairan dana BLT yang tentunya mengakibatkan keselamatan jiwa rakyat miskin terancam, terjadinya pemotongan dana BLT, bahkan banyaknya keluarga miskin yang tidak mendapat BLT yang sudah pasti akan menimbulkan kecemburuan dikalangan rakyat miskin sehingga memicu timbulnya konflik horizontal yang justru mengancam keselamatan bangsa dan negara.
Kehadiran dana jelas BLT tidak mendidik karena membuat rakyat miskin semakin malas, bodoh dan tidak mau tahu terhadap berbagai persoalan yang dihadapi oleh bangsa ini, tanpa disadari pemberian dana BLT telah membentuk kepribadian rakyat menjadi peminta-minta menggantungkan hidup pada Negara, pemberian BLT ibarat Negara memberikan ikan kapada rakyat tanpa memberikan kailnya dan mengajari bagaimana menggunakannya untuk mendapatkan ikan sehingga apabila ikan yang diberikan telah habis dimakan, rakyat pun harus menggantungkannya pada pemerintah kembali. Bukankah alangkah bijaksananya kalau dana BLT diberikan dalam bentuk-bentuk proyek padat karya untuk membangun dan memperkuat perekonomian rakyat, dengan demikian rakyat terlibat secara langsung dan merasa memiliki sehingga dengan sendirinya mereka mempunyai kesadaran atas tanggung jawab mengatur kemandirian perekonomiannya sendiri tanpa harus terus menggantungkannya pada Negara?
Di lain sisi, hampir dalam waktu bersamaan kenaikan harga BBM yang membuat rakyat semakin hidup menderita media melaporkan bahwa kekayaan para pejabat negara meningkat tajam dalam waktu yang begitu singkat menurut logika hal itu sulit atau bahkan tidak mungkin terjadi. Sebut saja misalkan kekayaan Aburizal Bakrie Menko Kesra yang juga pemilik perusahaan Bakrie Group, salah satu anak perusahaannya yang bergerak dibidang migas adalah PT Lapindo Brantas Inc. Anak perusahaan Bakrie Group ini, sampai sekarang masih bermasalah karena tidak becus menyelesaikan persoalan semburan lumpurnya yang telah menghancurkan tata kehidupan sosial di Sidoarjo, baru-baru ini justru dinobatkan oleh majalah Globe Asia menjadi orang terkaya se-Asia Tenggara dengan kekayaan mencapai 9,2 miliar dolar AS atau sekitar Rp 84,6 triliun. Selain itu, kekayaan menteri dalam negeri Mardiyanto juga bertambah Rp 3 miliar dan 50.000 dollar AS dalam waktu 17 bulan, Andi Mattalatta Menteri Hukum dan HAM kekayaannya bertambah 700 juta dalam hitungan delapan bulan terkhir, sedangkan Jaksa Agung Herdarman Supandji kekayaannya meningkat 1,1 miliar terhitung Mei 2001 (kompas, 04 Juni 2008).
Kabar ini tentunya menambah sedih bagi rakyat sekaligus mengundang pertanyaan dan kecurigaan bagi kita semua terhadap komitmen pejabat negara dalam mengatasi kemiskinan dinegeri ini. Kondisi ini telah menimbul pertannyaan di benak kita, apa yang sebenarnya terjadi di negeri ini? pertanyaan ini setidaknya sedikit terjawab oleh temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang melaporkan bahwa “penerimaan migas tidak transparan dan tidak disetor langsung ke kas negara sesuai mekanisme APBN. Penerimaan migas tersebut dicatat terlebih dahulu pada rekening di luar rekening kas negara” lebih lanjut disebutkan sebagian penerimaan migas disetorkan ke kas negara sesuai target APBN dan sebagian yang lainnya digunakan langsung untuk pengeluaran-pengeluaran yang tidak dipertanggungjawabkan dalam APBN (kompas, 04 Juni 2008). Ini berarti pemerintah telah melakukan penyimpangan dalam pengelolaan migas kita. Lalu pertanyaanya, adilkah jika pemerintah membebankan APBN kepada rakyat dengan menaikkan harga BBM?
Lebih lanjut, mahasiswa menilai, pemerintah telah gagal mengelola kekayaan migas untuk kesejahteraan rakyat. Oleh karenanya mahasiswa juga menuntut pemerintah agar bersikap berani untuk me-nasionalisasi-kan perusahaan-perusahaan migas asing yang beroperasi di Indonesia untuk kesejahteraan rakyat, pencabutan paket undang-undang yang terkait pengelolaan migas seperti : Undang-Undang Migas No. 22/2001 dan UU Penanaman Modal Asing No. 25/2007 serta UU No. 01/1967, UU No. 11/1967, UU No. 19/2004 yang selama ini menjadi pangkal sebab carut-marutnya pengelolaan migas di Indonesia serta merevisi semua produk undang-undang yang tidak berpihak dan cenderung merugikan rakyat.
Gelombang aksi penolakan mahasiswa terhadap kenaikan BBM yang semakin besar karena didukung oleh segenap elemen bangsa; mulai dari petani, nelayan, buruh, sopir angkutan umum, tukang ojek sampai tukang becak pun ikut bersama mahasiswa ramai-ramai berdemontrasi menolak rencana gila pemerintah tersebut. Begitu juga para akademisi, politisi, budayawan dan tokoh-tokoh agama juga sampai harus bersuara keras mengingatkan pemerintah secara bergantian agar tidak menaikkan harga BBM.
Meskipun kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM sebesar 28,7 % (ini merupakan kenaikan BBM yang ke-2 sejak pemerintah SBY-JK memimpin Negara ini) dan pemberian BLT kepada rakyat miskin telah diberlakukan sejak 24 Mei 2008 yang lalu, tampaknya tidak membuat mahasiswa lelah dan patah semangat untuk terus berjuang membatalkan kebijakan pemerintah tersebut, justru gelombang demontrasi yang dimotori oleh mahasiswa itu kian hari kian massif dan semakin membesar. Melihat kondisi ini, pemerintah khawatir gerakan mahasiswa ini akan berakhir seperti gerakan `98 yang mengakibatkan runtuhnya rezim soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun.
Memecah Gerakan MahasiswaSayang sekali, kehawatiran pemerintah yang berlebihan itu disikapi dengan mengeluarkan kebijakan yang mengkagetkan semua pihak, secara tiba-tiba pemerintah mengeluarkan kebijakan memberikan Bantuan Khusus Mahasiswa (BKM), BKM ini rencanakan akan diberikan kepada 400 ribu mahasiswa dari 83 perguruan tinggi negeri dan 2.700 perguruan tinggi swasta atau 10% dari jumlah mahasiswa aktif se-Indonesia sebesar Rp 500.000/semester dan akan mulai dicairkan Juli 2008.
Kemunculan BKM atau BLT versi mahasiswa yang secara tiba-tiba itu, ibarat tidak ada angin, tidak ada mendung tiba-tiba turun kebijakan tersebut. Maka patut bagi kita curiga kalau kemunculan BKM semata-mata hanya digunakan sebagai “uang tutup mulut alias suap” agar mahasiswa tidak lagi bersikap kritis terhadap kebijakan- kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat, apalagi kemunculannya bersamaan dengan gencarnya demontrasi mahasiswa yang semakin panas menolak kenaikan harga BBM, ada satu pertanyaan pertannyaan yang patut kita kita lontarkan dan kita jadikan pertimbangkan; mungkinkah pemerintah akan mengucurkan BKM, apabila BBM tidak dinaikkan dan mahasiswa tidak demontrasi mati-matian menentang kebijakan tersebut?
Agaknya, dengan memberikan BKM ini pemerintah sedang menerapkan manajemen konflik, yakni dengan ‘membenturkan’ atau “mengkonflikkan” mahasiswa yang berdemonstrasi dengan mahasiswa yang memerlukan bantuan dana tersebut. Konflik ini terjadi karena adanya perbedaan kebutuhan, kepentingan dan pendapat. Bagi yang memerlukan untuk kelangsungan studinya, tentu akan mendukung kebijakan pemerintah. Sedang kelompok yang idealis akan menolak BLT tersebut dan tetap dengan perjuangannya, menolak kenaikan harga BBM. (Dr. Supardi dalam artikel Analisis : BLT Mahasiswa yang dipublikasikan di http://www.kr.co.id pada 30/05/2008)
Nasib Gerakan MahasiswaApapun alasan pemerintah mengeluarkan kebijakan BKM itu, bagi saya tidak dapat dibenarkan, mengingat kehadiran BKM jelas-jelas akan mengancam kelangsungan gerakan mahasiswa di tanah air. Di satu sisi BKM telah memecah belah gerakan mahasiswa, disisi yang lain BKM juga mencetak pola pikir mahasiswa menjadi pragmatis, ini berarti kehadiran BKM merupakan awal matinya gerakan mahasiswa di Indonesia. Oleh karenanya wajib hukumnya bagi rektor, pimpinan perguruan tinggi dan mahasiswa seluruh Indonesia untuk menolak kebijakan pemerintah itu.
Hal itu perlu dilakukan, demi menyelamatkan kelangsungan gerakan mahasiwa di negeri ini. Saya tidak bisa membayangkan apa jadinya Negara ini tanpa adanya gerakan mahasiwa yang akan selalu mengkontrol kerja pemerintah , masih adakah kelompok lain yang bisa kita harapkan untuk mengkontrol kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah selain mahasiwa? apakah partai politik yang kerjanya sibuk berebut kue kekuasaan? Apakah pada para polikus kita yang kerjanya cari sensasi untuk mendapatkan posisi? Atau pada wakil-wakil rakyat kita di DPR yang kerjanya pandai bikin UUD (Ujung-Ujungnya Duit) untuk mengamankan posisi dan memperkaya diri sendiri?
Wallahua`lam*. Penulis adalah mantan Ketua Umum PK PMII UIJ 2004-2005, Mantan sekretaris BEM UIJ 2006-2007, Sekretaris II PC PMII Jember 2007-2008.
1 comment:
Artikel di Blog ini bagus dan berguna bagi para pembaca.Anda bisa lebih mempromosikan artikel anda di www.infogue.com dan jadikan artikel anda topik yang terbaik bagi para pembaca di seluruh Indonesia.Telah tersedia plugin/widget.Kirim artikel dan vote yang terintegrasi dengan instalasi mudah dan singkat.Salam Blogger!!!
http://nasional.infogue.com/
http://nasional.infogue.com/kenaikan_bbm_demontrasi_mahasiswa_blt_dan_bkm
Post a Comment