Monday, October 18, 2010

Syariah

Mengenal Asuransi Syariah
15/06/2010

Pada hakikatnya manusia merupakan keluarga besar kemanusiaan. Untuk dapat meraih kehidupan bersama, manusia harus saling tolong menolong dan saling menanggung antara yang satu dengan yang lainnya. Dalam hadits Nabi SAW riwayat Imam Muslim digambarkan, adanya saling tolong menolong diantara umat Islam bagaikan satu tubuh; jika ada satu anggota masyarakat yang sakit, maka yang lain ikut merasakannya. Minimal dengan menjenguknya, atau bahkan memberikan bantuan. Tenggang rasa ini minimal dapat mengurangi beban penderitaan orang yang terkena musibah.


Hadits ini menjadi dasar filosofi tegaknya sistem Asuransi Syariah. Semangat bertakaful dalam menghadapi risiko musibah menekankan pada kepentingan bersama atas dasar rasa persaudaraan diantara para peserta.

Sebenarnya ada berbagai cara bagaimana manusia menangani resiko terjadinya musibah. Cara pertama adalah dengan menanggungnya sendiri (risk retention), yang kedua, mengalihkan risiko ke pihak lain (risk transfer), dan yang ketiga, mengelolanya bersama-sama (risk sharing). Cara yang ketiga inilah filosofi dan dasar dalam asuransi syariah. Jadi, risk sharing inilah sesungguhnya esensi asuransi dalam Islam, di mana di dalamnya diterapkan prinsip-prinsip kerjasama, proteksi dan saling bertanggungjawab (cooperation, protection, mutual responsibility)

Pedoman Umum Asuransi Syariah adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk asset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (transaksi) yang sesuai dengan syariah, yaitu akad yang tidak mengandung maghrib; maysir (perjudian), gharar (penipuan) dan riba. Sifat mengutamakan kepertingan pribadi atau dorongan mendapatkan keuntungan semata-mata, dihilangkan seminimal mungkin dalam asuransi syariah. Akan tetapi ada pula yang menjadikan asuransi ajang spekulasi (maysir), yang menjadi asuransi sebagai akad jual beli atau tukar menukar (mu’awadlah) bukan akad saling tolong menolong (ta’awun’).

Dari definisi di atas juga tampak bahwa akad asuransi syariah tidak pernah dijelaskan secara khusus oleh para imam mazhab fiqh. Sebab pembahasan yang mirip dengan definisi asuransi syariah ini dalam kitab fiqh adalah pembahsan masalah ’aqila, muwalah, tanahud, ’aqd al hirasah, dlaman khathr at thariq, dan al kafalah. Bentuk-bentuk muamalah di atas (Al-Aqilah, Al-Muwalah, At-Tanahud, dsb) memiliki kemiripan dengan prinsip-prinsip asuransi, oleh sebagian ulama dianggap sebagai embrio dan acuan operasional asuransi Islam yang dikelola secara profesional. Bedanya, sistem muamalah tersebut didasari atas ’amal tathawwu’ dan tabarru’ yang tidak berorientasi pada profit.

Menurut sejarah, perkembangan asuransi baru muncul pada abad 13-14 di Itallia, disaat terdapat sebagian orang yang siap menanggung risiko-risiko di laut yang kerap menimpa perahu layar atau penumpangnya dengan imbalan uang tertentu. Lalu setelah tiga abad, munculah asuransi darat. Awalnya dalam bentuk asuransi kebakaran, yaitu selepas terjadinya kebakaran yang cukup besar di London pada tahun 1666 M yang melalap lebih dari 13000 rumah. Kemudian pada abad kedelapan belas sampai pertengahan abad kesembilan belas seiring dengan revolusi industri dan meningkatnya risiko tenaga kerja serta banyaknya alat industri muncul bentuk asuransi lainnya, seperti asuransi seseorang yang mengasuransikan dirinya dari sebuah bahaya yang mungkin menimpa hartanya, seperti juga mengasuransikan mobilnya dari kecelakaan, kematian atau yang lain sebagainya.

Sedangkan secara legalitas keislaman, sistem asuransi syariah baru diakui dan diadopsi oleh ulama dunia pada tahun 1985. Pada tahun ini, Majma al-Fiqh al-Islami mengadopsi dan mengesahkan takaful sebagai sistem asuransi yang sesuai dengan syariah. Artinya, perkembangan takaful lebih didasarkan atas kreasi dan kebutuhan umat muslim ketimbang didorong oleh fatwa. Sistem asuransi diadopsi sebagai sistem saling menolong dan membantu di antara para pesertanya. Meskipun sebenarnya, ulama yang pertama membahas tentang asuransi adalah Ibnu Abidin (1784–1836 M./1252 H.). Ibnu Abidin adalah seorang ulama bermazhab Hanafi, yang mengawali untuk membahas asuransi dalam karyanya yang popular, yaitu Hasyiyah Ibn Abidin, Bab Jihad, Fashl Isti'man Al-Kafir dan kitab Raddu al Muhtar ’Ala ad Dar al Mukhtar.

Perkembangan industri asuransi syariah di negeri ini diawali dengan kelahiran asuransi syariah pertama Indonesia pada 1994. Saat itu, PT Syarikat Takaful Indonesia (STI) berdiri pada 24 Februari 1994 yang dimotori oleh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) melalui Yayasan Abdi Bangsa, Bank Muamalat Indonesia, PT Asuransi Jiwa Tugu Mandiri, Departemen Keuangan RI, serta beberapa pengusaha Muslim Indonesia. Selanjutnya, STI mendirikan dua anak perusahaan. Mereka adalah perusahaan asuransi jiwa syariah bernama PT Asuransi Takaful Keluarga (ATK) pada 4 Agustus 1994 dan perusahaan asuransi kerugian syariah bernama PT Asuransi Takaful Umum (ATU) pada 2 Juni 1995. Setelah Asuransi Takaful dibuka, berbagai perusahaan asuransi pun menyadari cukup besarnya potensi bisnis asuransi syariah di Indonesia. Selanjutnya, perkembangan asuransi syariah dalam beberapa tahun terakhir cukup menggembirakan. Saat ini, Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan jumlah operator asuransi syariah cukup banyak di dunia.

Berdasarkan data Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI), terdapat 51 pemain asuransi syariah di Indonesia yang telah mendapatkan rekomendasi syariah. Mereka terdiri dari 42 operator asuransi syariah, tiga reasuransi syariah, dan enam broker asuransi dan reasiuransi syariah. Adapun perusahaan asuransi yang benar- benar secara penuh beroperasi secara syariah ada tiga, yakni Asuransi Takaful Umum, Asuransi Takaful Keluarga (jiwa), dan Mubarakah.

Sebenarnya perbedaan utama antara asuransi syariah dan konvensional terletak pada tujuan dan landasan operasional. Dari sisi tujuan, asuransi syariah bertujuan saling menolong (ta’awuni) sedangkan dalam asuransi konvensional tujuannya penggantian (tabaduli). Dari aspek landasan operasional, asuransi konvensional melandaskan kepada peraturan perundangan, sementara asuransi syariah melandaskan pada peraturan perundangan dan ketentuan syariah. Dari kedua perbedaan ini muncul perbedaan yang lainnya, mengenai hubungan perusahaan dan nasabah, keuntungan, memperhatikan larangan syariah, dan pengawasan.

Kepemilikan dana pada asuransi syari’ah merupakan hak peserta. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Pada asuransi konvensional, dana yang terkumpul dari nasabah (premi) menjadi milik perusahaan, sehingga perusahaan bebas menentukan alokasi investasinya. Dalam mekanismenya, asuransi syari’ah tidak mengenal dana hangus seperti yang terdapat pada asuransi konvensional. Jika pada masa kontrak peserta tidak dapat melanjutkan pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri sebelum masa reversing period, maka dana yang telah disetorkan dapat diambil kembali, kecuali sebagian kecil dana yang telah diniatkan untuk tabarru’.

Pembagian keuntungan pada asuransi syari’ah dibagi antara perusahaan dengan peserta sesuai prinsip bagi hasil dengan proporsi yang telah ditentukan, sedangkan pada asuransi konvensional seluruh keuntungan menjadi hak milik perusahaan. Pembayaran klaim pada asuransi syari’ah diambil dari dana tabarru’ (dana kebajikan) seluruh peserta yang sejak awal telah diikhlaskan bahwa ada penyisihan dana yang akan dipakai sebagai dana tolong menolong di antara peserta bila terjadi musibah. Sedangkan pada asuransi konvensional pembayaran klaim diambilkan dari rekening dana perusahaan.

Implementasi akad takafuli dan tabarru’ dalam sistem asuransi syariah direalisasikan dalam bentuk pembagian setoran premi menjadi dua. Untuk produk yang mengandung unsur tabungan (saving), maka premi yang dibayarkan akan dibagi ke dalam rekening dana peserta dan satunya lagi rekening tabarru’. Sedangkan untuk produk yang tidak mengandung unsur tabungan (non saving), setiap premi yang dibayar akan dimasukkan seluruhnya ke dalam rekening tabarru’. Keberadaan rekening tabarru’ menjadi sangat penting untuk menjawab pertanyaan seputar ketidakjelasan (ke-gharar-an) asuransi dari sisi pembayaran klaim. Misalnya, seorang peserta mengambil paket asuransi jiwa dengan masa pertanggungan 10 tahun dengan manfaat 10 juta rupiah. Bila ia ditakdirkan meninggal dunia di tahun ke-empat dan baru sempat membayar sebesar 40 juta maka ahli waris akan menerima sejumlah penuh 10 juta. Pertanyaannya, sisa pembayaran sebesar 60 juta diperoleh dari mana. Disinilah kemudian timbul gharar tadi sehingga diperlukan mekanisme khusus untuk menghapus hal itu, yaitu penyediaan dana khusus untuk pembayaran klaim (yang pada hakekatnya untuk tujuan tolong-menolong) berupa rekening tabarru’.

Selanjutnya, dana yang terkumpul dari peserta (shahibul maal) akan diinvestasikan oleh pengelola (mudharib/wakil) ke dalam instrumen-instumen investasi yang tidak bertentangan dengan syariat. Apabila dari hasil investasi diperolah keuntungan (profit), maka setelah dikurangi beban-beban asuransi, keuntungan tadi akan dibagi antara shahibul maal (peserta) dan mudharib (pengelola) berdasarkan akad mudlarabah (bagi hasil) dengan rasio (nisbah) yang telah disepakati di muka atau membayar fee kepada wakil.

Adapun asuransi akad tijari adalah model mudlarabah atau wakalah. Secara teknis, mudlarabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan 100% modal sedangkan pihak kedua menjadi pengelola. Di sini terjadi pembagian untung rugi antara (shahibul maal) dan pihak pengelola/perusahaan asuransi (mudharib). Keuntungan usaha secara mudlarabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalian pengelola, maka pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Kontrak bagi hasil disepakati di depan sehingga bila terjadi keuntungan maka pembagiannya akan mengikuti kontrak bagi hasil tersebut. Misalkan kontrak bagi hasilnya adalah 60:40, dimana peserta mendapatkan 40 persen dari keuntungan sedang perusahaan asuransi mendapat 60 persen dari keuntungan.

Meski sampai saat ini akad mudlarabah masih mendominasi kontrak-kontrak asuransi syariah, namun beberapa ahli ekonomi Islam mulai memberi “catatan khusus” terhadap jenis akad ini. Penolakan akad mudlarabah difokuskan pada beberapa hal : Definisi profit sharing dalam akad mudharabah adalah “tingkat pengembalian dana hasil investasi” sedangkan dalam prakteknya, yang terjadi bukan “profit sharing” tapi “surplus sharing” dimana yang dibagihasilkan adalah “hasil investasi + modal pokok” yaitu dalam kondisi apabila seluruh dana premi yang terkumpul masih tersisa setelah dikurangi beban asuransi dan biaya operasional.

Dalam model mudlarabah, seluruh peserta bertanggung jawab terhadap musibah yang dialami peserta lain, termasuk untuk membayar beban-beban asuransi lain (biaya reasuransi, medical expenses, legal fee, dll), sedangkan pengelola (operator) hanya bertanggung jawab terhadap semua pengeluaran yang terkait dengan operasional dan hasil investasi sesuai kapasitasnya dalam akad mudlarabah. Dalam kenyataan di beberapa model mudlarabah, biaya marketing dan komisi bukan merupakan pengeluaran operator tapi dibebankan kepada Takaful fund.

Berbeda dengan akad mudlarabah, yaitu akad wakalah, Takaful berfungsi sebagai wakil peserta dimana dalam menjalankan fungsinya (sebagai wakil), Takaful berhak mendapatkan biaya jasa (fee) dalam mengelola keuangan mereka. Dalam konteks yang ideal, Takaful tidak lagi mendapatkan bagi hasil karena seluruh dana beserta hasil investasinya menjadi hak penuh dari peserta. Namun demikian, pihak pengelola berhak mengenakan biaya manajemen atau biaya operasional.

Pilihan keputusan hukum asuransi syariah yang ditetapkan oleh Munas Alim Ulama pada 2006 merupakan pilihan hukum dan model asuransi yang bebas dari perbedaan para ulama fiqh (al huruj minal khilaf mustahabbun) yang mengharamkan dan yang menghalalkan praktik asuransi konvensional. Sebab menurut sebagian pengikut mazhab Hanafi dan Maliki, hukum asuransi konvensional adalah boleh dan halal. Dalil yang digunakan adalah kaidah, bahwa asal segala sesuatu adalah boleh kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Sedangkan akad asuransi tidak ada teks (nash) yang mengharamkan maka berarti hukum asuransi adalah boleh seperti akad muamalah lainnya sepanjang menjadi maslahah dan tradisi (‘urf). Adapun ulama Syafi’iyah dan Hanabilah yang mengharamkan asuransi konvensional berargumentasi dengan dalil, bahwa praktik asuransi disamakan dengan praktik riba. Yaitu membayar uang di zaman tertentu dengan pengembalian yang bertambah pada waktu berikut. Maka praktik ini termasuk riba nasi’ah dan riba al fadl sekaligus.

HM. Cholil Nafis
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU
www.nu.or.id

No comments: